banyak cerita tertuang dalam novel atau karya fiksi
masing-masing punya cerita dan ambisi
melaju dalam satu jalur yang bernama narasi
cerita tebagi dalam berbagai inti tanpa makna terkandung dalam imaji dan akhirnya akan menjadi sebuah ilusi

ini cerita yang bertuan, tertumpu menjadi segumpal ambisi
kemuakan terjadi, khayalan terpenuhi akibat petualangan kaum malam
bersama berlari, kejar, salip, terjungkal dan kembali berlari
bukan kemenangan, tapi kepuasan
bukan kemenangan, tapi kebenaran
tidak seperti orang kampanye,
ini janji bersanding dengan fakta bukan muncul di kala pemilu
tidak ada tribun atau panggung, bukan juga aula
beralaskan rumpun dengan semarawut ilalang, cinta kita tumbuh disana
kalian dengan langkah tak perduli, begitu juga saya,dikala awal kita jumpa
tak ada sapa apalagi salam,lirik pun terlalu canggung
hingga akhirnya kita mampu berjabat tangan, bahkan lebih hingga kita berpelukan

kemarin, kita menyaksikan mereka bercanda dengan seribu amarah
memang semerawut, ruwet, tak tersusun sistematis
beda memang dengan para orang berdasi, yang punya jadwal penuh dikte, akte, dan sekte
cuap-cuap masalah kehidupan, bukan masalah materi yang harus menempuh jalur pleno paripurna
beda memang dengan mereka,ini hanya nampak sekilas

saya mulai marah, tapi tak pake amarah
ngapain marah, saya tidak mengemban amanah, tapi menjalankan anugrah atas kuasa diri
mereka yang amanah saja peduli setan tentang amanah yang menjadi berkah
saya mulai mereda,tapi tidak sabaran
kita mulai menari yang tak mampu menahan irama musikal
deru gemuruh jingkrak rame di konser lapangan,
gratis, bebas, teriak sepuasnya, tak pake tiket, karcis ataupun formulir pendaftaran sebelumnya
dari pada di ruangan ber ac, kelap-kelip lampu ruangan,,sesak penuh penipuan
ini bukan tempat yang neko ataupun bertele-tele
tapi cinta dan ambisi adalah luapan nurani
karena kami berbeda

saya mulai jujur,

terus menjulang tiang tiran
mengenyahkan kurcaci menjadi tumbang pondasi kebusukan
air kehidupan padamkan api lapindo 
siapkan panser porak-porandakan kesatuan kurcaci
merangkul dengan kalungan belati.
sedutkan semua permasalahan dari alam dan anarkisme.
kurcaci tetap menjadi manusia kecil, karena mereka diam!
mereka tak mau mengerti arti keluh kesah pinggiran
enggan menepi, cari aman jauhi pusaran
dia akan datang di akhir episode sbg jawara
jawara sejati bagi majikan,
musuh mutlak bagi pinggiran,
sekarang hingga kelak,.
hilangkan balak malu pada dosa!
terlalu banyak mimpi, tak bertuan,,
tanpa usaha,.,pancet dlm kenyamanan, kenyamanan kolot,.,
tak jelas prioritas dan tujuan akan tetap jadi khayalan dalam kebohongan,.,!.,

tak diterima oleh siang,.,kemunafikan tak berkawan.
setidaknya, sepetak ruang kehormatan,ada !,.bagi mereka kaum malam,

Paduka agung yg terlupakn...amat disayngkn melupakannya...
Ompongkah kekuasaanMU..ataukh it sbgian dr prmainanMU..?
Bukannya meragukan,.tapi semoga memang prmainanMU.

kabar desa !

desa,.selamat pagi.!
kenari tak lagi berkicau hari ini
dansa semilir angin tak menyengat lagi
embun tak menetes dari daun
kemana ranting dan akarnya?

desa, selamat siang!
berapa banyak yang bertani saat ini
bulir padi tak lagi padat sekarung
tengkulak gasak lumbung
lahan sempit, buruh tani terjangkit
masa panen terganti masa mengkuli!

desa, selamat sore!
jalan semakin bising, ramai dan lebar
jalur baru menuju menara wisata
semakin banyak tinggalkan tanah kelahirannya
kencana tak laku, sais gigit jari
remaja mangkal di terminal jajakan suara
pembangunan bawa ampas polusi dan polisi

desa, selamat petang!
rumah adat berubah jadi epicentrum
para pemangku tidakkah kau merasa petang ini sepi!
alunan serakal tak menggema
pramu saji tak terpakai, ada cara elegan!
sunyi tak berarti, megah tapi tak indah

desa, selamat malam!
terang, hura, tak berwarga
ini hari terakhir menyaksikan hari ini
nuansa yang berbeda ketika dulu
semoga hari ini segera usai dan tak berlanjut

aku berangkat dini hari nanti
berangkat bersama kawan dengan kepalan
menghadap dengan deretan barisan
junjungan panji dan poster
usaha benahi nuansa asri
dan kita akan menari, berdoa diatas pijakan langkah tanpa materi
ini bukan sekedar mimpi, jika kita saling mengiringi dalam doa dan usaha!
pasti....!



saya adalah pencinta keindahan dan nuansa baru, kemenangan bukanlah kasta dan martabat tapi kebahagian dengan kemampuan diri,.,!



Ada cita yang belum tuntas!

Ada cita yang belum tuntas!

aku bersaksi bagi mereka dengan ikhtiar perjuangan,,

,ketika hidup memasuki masa jengah

aku bersaksi bagi mereka yang muak dengan 

tatanan,.,

ketika hidup tersekat kasta

aku berupaya bersaksi bagi cinta kesederhanaan dan kemanusiaan


dengan ikhtiar dan bakti maka ku buat alam menjadi saksi


bahwa kita masih saling mengiringi dalam doa dan usaha


serta pada jalan menuju surga dalam dunia versi kita.,!,.

Tidak Ada Kata Berdamai Dengan Realitas, Tunduk dan Diperbudak atau Melawan!

Sekian banyak filsuf telah mengamati dan menganalisis dunia tapi tak ada seorang pun yang mampu merubah dunia,
            Sejuta kata-kata dikalahkan dengan satu tindakan!
(karl marx)

Pendidikan kerapkali melahirkan orang pintar tanpa nyali. Itu yang mengantarkan para intelektual jadi budak kekuasaan dan kekuatan modal!
(eko prasetyo)

            Tak ada yang bermartabat dari seorang anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan.
 (Che Guevara)

Hidup ini mudah, diambil santai aja! Inilah kata-kata yang masih menjadi mainstream berpikir kebanyakan orang dalam menyikapi hidup. Saya tidak mau menjustifikasi statemen itu menjadi suatu hal yang salah. Sebelumnya kita akan mencoba menganalisis lebih mendalam kenapa statemen demikian menjadi sangat populer dalam tindakan kehidupan hari ini. Pola pikir dan tindakan seseorang tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang membentuknya, semisal faktor pendidikan, keluarga (lingkungan sosial kecil) ataupun faktor lingkungan sosial dalam sekala luas yakni masyarakat.

Polusi Pendidikan,!
Cengkraman kapitalisme yang telah membaur sangat erat tanpa disadari dalam tubuh masyarakat sendiri. Akumalasi modal terus menerus menjadi prinsip dasar hidupnya. Kapitalisme sudah menjadi budaya yang mencakup segala bentuk “aktivitas hidup”. Interaksi dalam masyarakat selalu berpatok pada materi, sekolah yang menjadi ladang ilmu kini berubah peran sebagai pasar modal, yang selanjutnya dikenal dengan istilah liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Tujuan dan sasaran pendidikan sejati yang tertera pada pembukaan UUD 1945 ,”pendidikan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”,. Penerapan liberalisasi dan komersilisasi pendidikan inilah yang menyebabkan penenggelaman hakikat awal dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya, negara sebagai penyelenggara dan pengawas pendidikan akan kehilangan tanggung jawab. Harga pendidikan naik yang akan disesuaikan dengan keinginan pihak segelintir kelompok yang mengelola institusi pendidikan dengan dalih-dalih SPP, DPP maupun sumbangan lain, artinya hanya akan terjadi disparitas pemberdayaan bagi masyarakat terutama masyarakat yang tergolong ekonomi rendah. Timbullah kata-kata “orang miskin dilarang sekolah”. Di dalam tubuh pendidikan sendiri berupaya mencetak para pekerja dengan technical skill untuk dipersiapkan menjadi hamba-hampa kaum pemodal ( agenda IMF dalam GATS desember 2005). Hal semacam ini juga yang melahirkan pandangan ‘kita sekolah untuk mendapat kerja”.  Pendidikan yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar hanya akan melahirkan dikotomis pemikiran yang terpatok pada materi. Ketentuan sejatinya dari pendidikan untuk memanusiakan manusia, nihil harapan untuk terealisasikan, yang terjadi malah sebaliknya “dehumanisasi” (prikemanusiaan dan prikeadilan, BATAL!). Pembentukan manusia-manusia eksklusif dan individualis yang terjadi dan hasil dari pendidikan untuk perubahan sosial tak kunjung datang. Akhirnya pendidikan hanya akan melahirkan orang pintar tanpa nyali. Menghantarkan mereka menjadi budak kekuasaan dan kekuatan modal.

Tanggungjawab Seorang Intelektual
Tidaklah heran, mainstream berpikir seperti yang diatas begitu populer hari ini. Tanggung jawab sosial dari manusia itu sendiri terlepas dengan sendirinya. Pemaknaan hidup ini mudah jika dikaitkan dengan kebutuhan pribadi dan segelintir kelompok akan tetapi tanggung jawab sosial itulah yang menjadi kontradiksinya. Kita sebagai orang yang “beruntung” menikmati kehidupan sekolah selanjutnya meempunyai tanggung jawab kepada mereka yang tidak mampu mengenyam sekolah. Seperti yang dikatakan eko prasetyo, dalam bukunya “jadilah intelektual progresif” yakni tanggung jawab kaum intelektual adalah mengabdikan ilmu dan pengetahuanya untuk rakyat dan perubahan sosial bukan hanya pidato kepintaran dalam ruangan. Kalian para pemuda mahasiswa telah di sekolahkan oleh rakyat dan juga yang memberi kalian kesempatan sekolah maka tolonglah mereka ( eko prasetyo: 2007)
Bagi para pejuang (dalam konteks ini, mahasiswa) mempunyai tuntutan dilematis. Tanggung jawab sebagai anak memenuhi permintaan orang tua -kuliah- atau kewajiban sebagai warga Negara dan manusia. Ini juga sebagai sebuah hambatan dalam masifnya gerakan mahasiswa hari ini. Dogma tradisional terkungkung dalam pemikiran orang tua dibebani pada anaknya untuk segera menyelesaikan tugas kuliahnya. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya, akan tetapi metode yang dilakukan kurang tepat. Hal semacam ini yang menjadikan anaknya kurang mampu untuk mandiri, dan progresif. Pemberian dukungan dan kebebsan untuk memilih jalur hidup yang ditempuhnya sendiri. Sehingga tidak lagi terdengar kalimat seperti yang dikatakan seorang comedian raditya Dika “ Nasehat orang tua adalah masalah terbaik” menjadi “nasehat orang tua menjadi berkah dan dukungan terbaik”. (sekedar tambahan tulisan ja)
            Pengabdian yang total untuk membebaskan rakyat dari belenggu penindasan adalah supremasi hukum tertinggi. Tidak ada kesempurnaan moral selain menggulingkan kekuasaan penindas. Tidak ada kata esok, tidak ada kata bermain aman, tidak ada kata berdamai dengan realitas karena skema tatanan hidup hari ini sudah begitu semerawut. Langkah selanjutnya yakni, tantang dengan tegas, jelaskan dengan lugas dan selesaikan dengan tuntas.
            Bangkitlah kembali kaum intelektual! jalankan peran dan fungsi sejatimu, satukan teori dan praktek. Jalanan adalah tempat bagi pembangkak seperti kita. Kita bukan pemberontak tapi seorang pembangkang dengan tujuan pasti, bukan “untuk” sesuatu tetapi “demi”  sesuatu. Ruang kelas hanyalah cekokan ilmu-ilmu dogma yang hanya menjadikan kita “intelektual onani” tanpa praktek. Memaksa kita menjadi pengamat dan penafsir. Ulurkan tangan dan bersanding dengan penderitaan rakyat serta berjuang bersama rakyat.

Perubahan Sosial
Sekelumat permasalahan negeri ini semakin kompleks, baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sumber Daya Alam (SDA) negara ini yang begitu melimpah dikuasai para pemodal asing dan segelintie elit-elit politik. Rakyat hanya menikmati limbah. Dimanakah peran negara sebagai penjamin kemakmuran warganya? Dimanakah peran pejabat birokrasi ketika melihat rakyatnya kelaparan? Atau mereka pura-pura menjadi bodoh?. Mereka peka dan sadar melainkan mereka tidak peduli. Ingatkah dulu Bung Karno pernah berkata ,” Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Para pejabat birokrasi yang menjadi antek-antek kapitalis atau kaum-kaum komprador yang tidak peduli dengan nasib rakyat hanyalah benalu-benalu yang harus disingkirkan.
Tidak perlu untuk menunggu kita menjadi sarjana untuk melakukan perlawanan ketika melihat sesama mengalami ketertindasan, secara naluri alami (iba) seorang manusia cukup sebagai pemantik awal kesadaran untuk gerakan kita. Dalam konteks perubahan sosial tentunya dilakukan oleh kelompok sosial. Di sini penerapan aspek perjuangan bersama untuk perubahan bersama. Kaum intelektual sebagai aktor perubahan melakukan penyadaran, pengorganisiran serta mobilisasi massa. Statemen ini juga sebagai antitesis dari bentuk perjuangan melalui intra parlementer.
Perjuangan ini adalah bentuk ibadah sosial, wahai para mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, tani, kaum miskin kota dan seluruh rakyat bersatulah.!
Sekedar renungan bagi para mereka yang mengaku islam nabi Muhammad S.A.W pernah berkata pada Jibril ketika sakaratul maut “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

Inak, amak, semeton maaf atas penyelewengan amanat kuliahmu.!
Jadilah intelektual progresif dan menjadi orang-orang pembasmi kebodohan!
Dari saya yang berterima kasih pada “masa” kuliahmu,,.,.!
Pemikiran dan pemahamanku adalah tanggung jawabku, dan dedikasikan hidupmu bukan untukmu sendiri!
(anggara)










Sendi Negeriku,Encok!


Di sini aku berteriak dari ketinggian
Berbondong mereka mencari lembah
Getar mesin membuat kawah
Hingga bisu tak menghentikan limbah

Di sini aku berteriak dari kedalaman
Jeli mereka tebar jala arwana
Kapal selamnya tak bisa basah
Hingga tenggelam tak menghentikan keruh

Di sini aku berteriak dari keramaian
Rusuh mereka relokasi dan menata kota
Bangkitkan preman dan lumpen jadi garda
Hingga terinjak tak menghentikan kisruh

Di sini aku berteriak dari jalanan
Bual mereka dari istana dan paripurna
Tipu daya dan permainan opini
Hingga bosan tak menghentikan alibi

Suara dibungkam dengan senjata
Tak kunjung jua sang jawara meyapa dengan ratapan,
Tantang mereka masuk gelanggang
Biarkan pertiwi menjadi saksi pembangkang
Untuk suatu kehormatan mewujudkan surga dalam dunia versi kita.!

Malang, 05 januari 2013

 Anggara

Diberdayakan oleh Blogger.