Tidak Ada Kata Berdamai Dengan Realitas, Tunduk dan Diperbudak atau Melawan!

Sekian banyak filsuf telah mengamati dan menganalisis dunia tapi tak ada seorang pun yang mampu merubah dunia,
            Sejuta kata-kata dikalahkan dengan satu tindakan!
(karl marx)

Pendidikan kerapkali melahirkan orang pintar tanpa nyali. Itu yang mengantarkan para intelektual jadi budak kekuasaan dan kekuatan modal!
(eko prasetyo)

            Tak ada yang bermartabat dari seorang anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan.
 (Che Guevara)

Hidup ini mudah, diambil santai aja! Inilah kata-kata yang masih menjadi mainstream berpikir kebanyakan orang dalam menyikapi hidup. Saya tidak mau menjustifikasi statemen itu menjadi suatu hal yang salah. Sebelumnya kita akan mencoba menganalisis lebih mendalam kenapa statemen demikian menjadi sangat populer dalam tindakan kehidupan hari ini. Pola pikir dan tindakan seseorang tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang membentuknya, semisal faktor pendidikan, keluarga (lingkungan sosial kecil) ataupun faktor lingkungan sosial dalam sekala luas yakni masyarakat.

Polusi Pendidikan,!
Cengkraman kapitalisme yang telah membaur sangat erat tanpa disadari dalam tubuh masyarakat sendiri. Akumalasi modal terus menerus menjadi prinsip dasar hidupnya. Kapitalisme sudah menjadi budaya yang mencakup segala bentuk “aktivitas hidup”. Interaksi dalam masyarakat selalu berpatok pada materi, sekolah yang menjadi ladang ilmu kini berubah peran sebagai pasar modal, yang selanjutnya dikenal dengan istilah liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Tujuan dan sasaran pendidikan sejati yang tertera pada pembukaan UUD 1945 ,”pendidikan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”,. Penerapan liberalisasi dan komersilisasi pendidikan inilah yang menyebabkan penenggelaman hakikat awal dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya, negara sebagai penyelenggara dan pengawas pendidikan akan kehilangan tanggung jawab. Harga pendidikan naik yang akan disesuaikan dengan keinginan pihak segelintir kelompok yang mengelola institusi pendidikan dengan dalih-dalih SPP, DPP maupun sumbangan lain, artinya hanya akan terjadi disparitas pemberdayaan bagi masyarakat terutama masyarakat yang tergolong ekonomi rendah. Timbullah kata-kata “orang miskin dilarang sekolah”. Di dalam tubuh pendidikan sendiri berupaya mencetak para pekerja dengan technical skill untuk dipersiapkan menjadi hamba-hampa kaum pemodal ( agenda IMF dalam GATS desember 2005). Hal semacam ini juga yang melahirkan pandangan ‘kita sekolah untuk mendapat kerja”.  Pendidikan yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar hanya akan melahirkan dikotomis pemikiran yang terpatok pada materi. Ketentuan sejatinya dari pendidikan untuk memanusiakan manusia, nihil harapan untuk terealisasikan, yang terjadi malah sebaliknya “dehumanisasi” (prikemanusiaan dan prikeadilan, BATAL!). Pembentukan manusia-manusia eksklusif dan individualis yang terjadi dan hasil dari pendidikan untuk perubahan sosial tak kunjung datang. Akhirnya pendidikan hanya akan melahirkan orang pintar tanpa nyali. Menghantarkan mereka menjadi budak kekuasaan dan kekuatan modal.

Tanggungjawab Seorang Intelektual
Tidaklah heran, mainstream berpikir seperti yang diatas begitu populer hari ini. Tanggung jawab sosial dari manusia itu sendiri terlepas dengan sendirinya. Pemaknaan hidup ini mudah jika dikaitkan dengan kebutuhan pribadi dan segelintir kelompok akan tetapi tanggung jawab sosial itulah yang menjadi kontradiksinya. Kita sebagai orang yang “beruntung” menikmati kehidupan sekolah selanjutnya meempunyai tanggung jawab kepada mereka yang tidak mampu mengenyam sekolah. Seperti yang dikatakan eko prasetyo, dalam bukunya “jadilah intelektual progresif” yakni tanggung jawab kaum intelektual adalah mengabdikan ilmu dan pengetahuanya untuk rakyat dan perubahan sosial bukan hanya pidato kepintaran dalam ruangan. Kalian para pemuda mahasiswa telah di sekolahkan oleh rakyat dan juga yang memberi kalian kesempatan sekolah maka tolonglah mereka ( eko prasetyo: 2007)
Bagi para pejuang (dalam konteks ini, mahasiswa) mempunyai tuntutan dilematis. Tanggung jawab sebagai anak memenuhi permintaan orang tua -kuliah- atau kewajiban sebagai warga Negara dan manusia. Ini juga sebagai sebuah hambatan dalam masifnya gerakan mahasiswa hari ini. Dogma tradisional terkungkung dalam pemikiran orang tua dibebani pada anaknya untuk segera menyelesaikan tugas kuliahnya. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya, akan tetapi metode yang dilakukan kurang tepat. Hal semacam ini yang menjadikan anaknya kurang mampu untuk mandiri, dan progresif. Pemberian dukungan dan kebebsan untuk memilih jalur hidup yang ditempuhnya sendiri. Sehingga tidak lagi terdengar kalimat seperti yang dikatakan seorang comedian raditya Dika “ Nasehat orang tua adalah masalah terbaik” menjadi “nasehat orang tua menjadi berkah dan dukungan terbaik”. (sekedar tambahan tulisan ja)
            Pengabdian yang total untuk membebaskan rakyat dari belenggu penindasan adalah supremasi hukum tertinggi. Tidak ada kesempurnaan moral selain menggulingkan kekuasaan penindas. Tidak ada kata esok, tidak ada kata bermain aman, tidak ada kata berdamai dengan realitas karena skema tatanan hidup hari ini sudah begitu semerawut. Langkah selanjutnya yakni, tantang dengan tegas, jelaskan dengan lugas dan selesaikan dengan tuntas.
            Bangkitlah kembali kaum intelektual! jalankan peran dan fungsi sejatimu, satukan teori dan praktek. Jalanan adalah tempat bagi pembangkak seperti kita. Kita bukan pemberontak tapi seorang pembangkang dengan tujuan pasti, bukan “untuk” sesuatu tetapi “demi”  sesuatu. Ruang kelas hanyalah cekokan ilmu-ilmu dogma yang hanya menjadikan kita “intelektual onani” tanpa praktek. Memaksa kita menjadi pengamat dan penafsir. Ulurkan tangan dan bersanding dengan penderitaan rakyat serta berjuang bersama rakyat.

Perubahan Sosial
Sekelumat permasalahan negeri ini semakin kompleks, baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sumber Daya Alam (SDA) negara ini yang begitu melimpah dikuasai para pemodal asing dan segelintie elit-elit politik. Rakyat hanya menikmati limbah. Dimanakah peran negara sebagai penjamin kemakmuran warganya? Dimanakah peran pejabat birokrasi ketika melihat rakyatnya kelaparan? Atau mereka pura-pura menjadi bodoh?. Mereka peka dan sadar melainkan mereka tidak peduli. Ingatkah dulu Bung Karno pernah berkata ,” Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Para pejabat birokrasi yang menjadi antek-antek kapitalis atau kaum-kaum komprador yang tidak peduli dengan nasib rakyat hanyalah benalu-benalu yang harus disingkirkan.
Tidak perlu untuk menunggu kita menjadi sarjana untuk melakukan perlawanan ketika melihat sesama mengalami ketertindasan, secara naluri alami (iba) seorang manusia cukup sebagai pemantik awal kesadaran untuk gerakan kita. Dalam konteks perubahan sosial tentunya dilakukan oleh kelompok sosial. Di sini penerapan aspek perjuangan bersama untuk perubahan bersama. Kaum intelektual sebagai aktor perubahan melakukan penyadaran, pengorganisiran serta mobilisasi massa. Statemen ini juga sebagai antitesis dari bentuk perjuangan melalui intra parlementer.
Perjuangan ini adalah bentuk ibadah sosial, wahai para mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, tani, kaum miskin kota dan seluruh rakyat bersatulah.!
Sekedar renungan bagi para mereka yang mengaku islam nabi Muhammad S.A.W pernah berkata pada Jibril ketika sakaratul maut “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

Inak, amak, semeton maaf atas penyelewengan amanat kuliahmu.!
Jadilah intelektual progresif dan menjadi orang-orang pembasmi kebodohan!
Dari saya yang berterima kasih pada “masa” kuliahmu,,.,.!
Pemikiran dan pemahamanku adalah tanggung jawabku, dan dedikasikan hidupmu bukan untukmu sendiri!
(anggara)










Sendi Negeriku,Encok!


Di sini aku berteriak dari ketinggian
Berbondong mereka mencari lembah
Getar mesin membuat kawah
Hingga bisu tak menghentikan limbah

Di sini aku berteriak dari kedalaman
Jeli mereka tebar jala arwana
Kapal selamnya tak bisa basah
Hingga tenggelam tak menghentikan keruh

Di sini aku berteriak dari keramaian
Rusuh mereka relokasi dan menata kota
Bangkitkan preman dan lumpen jadi garda
Hingga terinjak tak menghentikan kisruh

Di sini aku berteriak dari jalanan
Bual mereka dari istana dan paripurna
Tipu daya dan permainan opini
Hingga bosan tak menghentikan alibi

Suara dibungkam dengan senjata
Tak kunjung jua sang jawara meyapa dengan ratapan,
Tantang mereka masuk gelanggang
Biarkan pertiwi menjadi saksi pembangkang
Untuk suatu kehormatan mewujudkan surga dalam dunia versi kita.!

Malang, 05 januari 2013

 Anggara

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.